Kalau lagi backpacking ke suatu tempat yang baru pertama kali didatangi, papan petunjuk jalan adalah benda yang akan sangat membantu agar tidak tersesat. Tapi kalau papan itu malah menyesatkan, siapa coba yang salah? Orang yang bikin, yang taruh papan, yang baca atau yang nurut sama papan itu??
Hal ini terjadi waktu aku backpacking ke bumi perkemahan Elang Jawa, Sukabumi, Jawa Barat. Sebuah papan lusuh di depan kedai kopi yang menunjukkan tempat wisata air terjun bernama Curug Cibeureum, 3 Km, menarik perhatian ku untuk mendatanginya. Siang itu ku sengaja mengajak 5 orang teman seperjalanan ku untuk ikut bersama, ada Indra, Mira, Bayu, Aini dan Rina. Karena tertulis 3 Km, ku fikir tempatnya dekat dan dapat ditempuh hanya dalam waktu satu jam saja, jadi kami berangkat pukul 15.00 WIB
Setelah beristirahat sekitar 10 menit di trek jalanan yang lebih mirip dengan jalur pendakian ke puncak gunung ini, ku lanjutkan perjalanan bersama Indra, Bayu dan Mira. Sedangkan Aini dan Rina memilih untuk kembali ke tenda. Ternyata, perjalanan menuju Curug Cibeureum memang rute yang digunakan untuk pendakian gunung, berupa jalanan tanah dan jalanan berbatu yang cukup menanjak, di kanan dan kiri-nya persis kayak lirik di lagu naik-naik ke puncak gunung mak lampir, “kiri kanan kulihat saja banyak pohon seremnya…”. Yah itu lah yang kami lewati untuk menuju Curug Cibeureum, menarik yah… hehehehe…
Satu jam kami berjalan kaki, pelan tapi pasti seperti siput yang sedang berlari, akhirnya kami sampai di Pos Tempat Penjualan Tiket Masuk… (Gileeee beneeeerrr…) disana kami membeli tiket seharga 5000,- per-orang, dan setelah ditanya masih berapa jauh (gue Tanya dalam bentuk Kilometer), si bapak penjual tiket yang juga sekaligus sebagai polisi hutan ini, berkata dengan santainya “Cuma 15 menit lagi kok kalo jalan cepet, kalo jalan santai sambil pacaran mah 30 menit juga sampai..” (dijawab dengan kisaran waktu). Waktu 30 menit itu bagi kami adalah sebuah jarak yang jauh.
Perjalanan kami lanjutkan ditemani dengan pepohonan dan semak hutan yang semakin lebat, jalanan bebatuan dan tanah yang semakin menanjak dan suara-suara hutan sebagai lagu pengiring perjalanan kami. Karena kami merasa sudah kepalang tanggung untuk kembali ke tenda, akhirnya kami lanjutkan perjalanan.
Waktu telah menunjukkan pukul 16.55 WIB, ketika ku mulai pesimis untuk bisa sampai di tempat tujuan sebelum gelap, aku mendengar gemuruh suara air yang lambat laun semakin deras di telinga, seketika semangat ku pun menggebu dan tanpa sadar kami mempercepat langkah mendekati sumber suara yang kami dengar itu.
Aku percaya bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang besar, membutuhkan perjuangan yang besar juga. Dan hal itu aku buktikan saat ini, sebuah air terjun yang didampingi oleh dua buah tebing yang besar di sisi kiri dan kanannya, dari puncaknya memuntahkan ratusan kubik air tiap detiknya, dan pelangi di tengahnya memukau pandangan kami.
Aku berdiri, dihujani milyaran titik air tiap detik
Seolah bayi, berteriak bebas menghampiri bumi
Tubuh ini seperti kembali suci
Jiwa ini seperti hanyut menghayati
Entah aku menangis atau tertawa, semua itu sama saja
Ketika dingin membisik diri
Sadarkan mimpi dalam kenyataan
Rekahkan senyum ini selalu
Aku hidup… Aku hidup… Aku hidup…
Seolah bayi, berteriak bebas menghampiri bumi
Tubuh ini seperti kembali suci
Jiwa ini seperti hanyut menghayati
Entah aku menangis atau tertawa, semua itu sama saja
Ketika dingin membisik diri
Sadarkan mimpi dalam kenyataan
Rekahkan senyum ini selalu
Aku hidup… Aku hidup… Aku hidup…
Karena keasikan main air sambil narsis, kami jadi lupa waktu dan jadi agak malas pulang ke tenda. Tapi, kami baru ingat bahwa kita ke air terjun sama sekali tidak membawa pakaian ganti dan pakaian yang kami pakai sudah basah kuyub. Jadi menggigil dingin dingin empuk…. Bbbrrrrrr…..
Dengan keadaan seperti itu kami putuskan pulang ke tenda dan sepakat untuk berjalan lebih cepat karena malam mulai jatuh dihadapan kami. Sekitar pukul 18.05 WIB kami berjalan menuruni jalan yang kami lalui tadi dengan menanjak, ternyata lebih sulit menuruninya dengan keadaan basah. Aku jalan paling depan sebagai petunjuk jalan, saat gelap seakan turun lebih cepat, aku makin mempercepat langkahku dan mulai menyalakan senter yang ada di handphone ku sebagai penerang jalan. (kagak lagi-lagi dah main ke air terjun tanpa bawa baju ganti, bener-bener tersiksa sama dingin)
“Pada mau istirahat dulu nggak? Atau mau lanjut terus?..” Entah kenapa selama perjalanan mereka hening dan tidak berbicara. Ketika aku menoleh, ternyata mereka tiba-tiba menghilang dari belakangku. (Gelap, sendirian, dingin, laper… duuuhhh… pada kemana sih itu anak-anak??).
Tidak lama menunggu ternyata mereka istirahat sebentar untuk mengeringkan kaki agar tidak licin waktu jalan. Perjalanan kami lanjutkan dalam keadaan gelap dan lirik di lagu naik-naik ke puncak gunung mak lampir, kembali terlintas dalam benak, tapi kali ini suasananya lebih seram.
Pukul 19.20 akhirnya kami sampai didepan pintu masuk dimana aku melihat papan petunjuk jalan menuju Curug Cibeureum. Karena penasaran, aku sengaja melihat papan petunjuk itu dari dekat dan setelah dilihat jelas dengan senter, ternyata tulisan 3 Km itu adalah tulisan yang salah, karena papan petunjuk itu sudah agak berkarat dan terlihat menyedihkan, sehingga sebagian tulisannya sudah rusak dan ada beberapa yang terhapus, jadi ketika diperhatikan seksama jarak ke Curug Cibeureum adalah 8 Km…. hehehehe… dan semuanya langsung menjitakku dengan serempak… sambil diteriakin “Siaaalll Loo…!!!”
Sehingga, kesimpulannnya adalah “Yang salah itu papan petunjuknya dan orang nurut sama papan itu…” hehehe… (^_^)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar