Langkah Pertama : Out of the box

9 March 2010
Bukan distorsi dari alat berat pengaduk semen atau distorsi dari efek gitar elektrik dengan sound system berukuran besar yang meraung-raung membisik telinga ketika ada konser musik Metal. Tetapi distorsi dari kebisingan Jakarta secara keseluruhan seakan dapat membunuh setiap mahluk yang ada di sekitarnya. Setiap pergantian waktu tak ubahnya seperti jantung yang terus berdetak, apabila dia berhenti, matilah semua. Aku berani bertaruh, semua akan berkata “Jenuh…!!!” Pada keadaan yang terjadi ini, tak terkecuali aku yang benar-benar jengah dengan keadaan Nyokap-Kote-Negare-Kite-Nyang-Katanye-Tercinte ini.
Aku coba untuk mati suri, ku ajak arwah ini melihat dunia lain, melihat alam yang berbeda, mendengarkan detak  jantung yang berbeda, berniat untuk mudik sekaligus membebaskan diri dari belenggu penat yang kian pekat menghitam di dalam logika.

Berbekal sedikit tabungan, doa orang tua, izin menginap semalam di rumah saudara, info dari para backpacker di internet dan niat yang kuat untuk mewujudkan perjalanan yang berkesan serta berilmu secara pribadi. dimulailah perencanaan sebuah perjalanan menuju Yogyakarta. Tadinya berniat untuk jalan sendiri, tapi setelah cerita dengan dua orang teman kos, akhirnya didalam perjalanan ini aku nggak sendiri, karena ada Ujang dan Asrul yang akan ikut.

(Nah…. Perkenalan dulu yee…)
Uta adalah seorang pria asli Jogja yang hidup Jakarta, tinggi tubuhnya 165 cm, kulit putih nggak hitam nggak, banyak yang bilang kelakuannya juga aneh dan punya banyak mimpi.
Ujang adalah seorang pemuda asal Palembang, Sumatera Selatan ini mencintai bahasa Indonesia. Kenapa? Karena dari beberapa teman dari sabang sampai merauke yang aku kenal, baru dia yang bisa berbicara dalam beberapa bahasa daerah. Dia bisa bahasa Palembang, bahasa Padang, bahasa Medan, bahasa Sunda dan bahasa Jawa (ini baru yang disebut sebagai anak Indonesia…)
Asrul adalah seorang pemuda asal Solok, Sumatera Barat yang merantau ke Jakarta demi sebuah ijazah dan gelar ‘SS’. Dia adalah seorang atlit tenis meja di kos, tapi paling gugup kalo soal cewek. (senasib..) 
Dengan demikian, bermodalkan tiket kereta api Progo kelas ekonomi yang sudah dibeli untuk tiga orang seharga 105.000, we’re heading to Yogyakarta.



Waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB
mengantarkan kami bertiga ke sebuah rumah Allah SWT yang berada diluar Stasiun Pasar Senen, disana kami menghadap kepada-nya dan berdoa untuk perjalanan kami, agar perjalana kami ini diberikan keselamatan dan menjadi sebuah perjalanan yang berkesan dan berilmu.
Waktu menunjukkan pukul 20.45 WIB
Setelah berdoa, beli makanan kecil dan beli Koran bekas buat alas, akhirnya Kereta Progo kelas ekonomi jurusan Stasiun Pasar Senen – Stasiun lempuyangan tiba dihadapan kami. Kami bergegas mencari tempat duduk kami sesuai dengan nomor bangku yang kami punya. Setelah salah masuk gerbong sebanyak dua kali, akhirnya kami berhasil mendapatkan bangku sesuai dengan nomor yang kami miliki.  

Ada sebuah angan-angan kami bertiga dalam perjalanan ini, untuk bisa duduk bareng dengan gadis cantik, baik hati, ramah, jomblo dan membutuhkan belaian laki-laki. Sambil menebar pesona kepada beberapa mangsa yang sibuk mencari bangku sambil melewati dan melihat ke arah kami, tapi tak ada satupun yang duduk di dekat kami., hingga akhirnya harapan kami pun sirna sudah, kami satu bangku dengan seorang nenek. (dibaca “mbah”) 

Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB 

Kereta masih berhenti di sebuah stasiun antah berantah selama hampir 15 menit, karena bosan menunggu di dalam kereta yang udaranya hampir mirip dengan kamar sauna massal ini, aku memutuskan untuk turun dari kereta dan istirahat di luar, disini aku memperhatikan kondisi peron stasiun yang sudah berumur tua. “Pasti peron ini memiliki jutaan cerita dan telah menjadi saksi atas banyaknya kejadian” fikiranku seakan dapat melihat masa lalu dari peron stasiun yang sudah tua ini.  

Hingga tiba-tiba muncul sebuah suara, “CangCiMen… CangCiMen… CangCiMen…sambil nunggu kereta anjlok”. 
Apaaa…!!!??? Kereta Anjlok…!!!?? Pantas saja ini kereta berhenti di setiap stasiun hampir selama 30 menit (dibaca “Setengah Jam”). 

Pasrah.., dari pada Bejo (bengong jorok), pedagang yang berteriak CangCiMen itu pun aku panggil, sambil beli jamu tolak angin sambil aku tanyakan apa arti dari CangCiMen, dan dengan gampang dia menjelaskan tehnik penjualannya yang unik dalam menjajakan dagangannya itu.  

“Itu mah sikatan mas, dari kakang, kuaci, permen…” ternyata pedagang asongan pun punya bahasa sendiri yang unik. “Malah mas ya, sebelum saya jualan ini, saya jualan buku di kereta. Begini caranya jualannya… CaLisTung.. CaLisTung.. CaLisTung..” artinya adalah Baca, Tulis, Ngitung… benar-benar bahasa yang Arbitrer. 

10 March 2010 

Waktu yang menunjukkan pukul 03.00 

Kereta Progo kembali membawa kami masih berada di sebuah stasiun yang aku lupa namanya, anjloknya kereta di Ajibarang membuat semua perjalanan kereta jadi terganggu. Aku lihat beberapa orang tiduran di luar kereta (untung nggak ada yang tiduran di rel kereta pas kereta lewat). Tapi, melihat pemandangan ini sebenarnya membukakan mata bahwa suatu industri jasa transportasi kayak PT. Sepur Negare Kite, seharusnya bisa mengantisipasi apabila ada kejadian kerusakan armada atau kecelakaan seperti ini,   dengan memberikan informasi yang jelas dan mungkin juga menyediakan alternatif hiburan agar penumpang lain yang terpaksa harus menunggu karena jadwal perjalanan kereta jadi terhambat beberapa jam bisa tetap merasa nyaman. Jadinya, biar nggak seperti yang dialami sekarang… “Bete brooo….!!!!!”.  

Akibatnya, bukan hanya korban kecelakaan yang dirugikan, tapi para penumpang kereta lain juga dirugikan dalam hal waktu. Akhirnya jadilah jadwal ku Kacau-Beliau. 

Waktu yang menujukkan pukul 05.15 WIB  

Kereta yang membawa kami akhirnya tiba di dtasiun Ajibarang dan sinar matahari yang mengintip malas dibalik subuh itu, memperlihatkan rangkaian gerbong yang anjlok. Hal yang paling menarik adalah menyaksikan hampir semua penumpang dengan antusiasnya melihat rangkaian gerbong tersebut dari dalam kereta. (kayak nonton orang gila lagi telanjang sambil nari perut di tengah jalan dah, ramee beneerrr...)

Waktu yang menujukkan pukul 06.00 WIB  

Perut yang lapar sejak malam hanya kami ganjal dengan rokok, roti dan air mineral, ternyata makin gencar berdemo. Namun semua itu sedikit terobati dengan pemandangan alam yang memasuki pandangan kami setelah matahari keluar perlahan dari tempat peraduannya.

Mata kami memancarkan bias-bias cahaya matahari yang hangatnya menerangi milyaran klorofil pagi itu. Petak-petak sawah dengan padi-padi yang hijau dan rindangnya pohon-pohon sangat khas mengelilingi petak-petak sawah tersebut membuat kami terhipnotis dengan lukisan sang maha kuasa. Sejenak kami terdiam menikmati keindahan sang maha pencipta, hingga akhirnya , Ada suara yang sangat kami hafal dengan sangat baik dari segi penciuman maupun pendengaran. 

Adalah sesuatu yang benar-benar merusak suasana indah pagi ini dan biasanya yang kehilangan sesuatu itu akan diam saja dan yang mendapatkan sesuatu itu akan merasa dirugikan atau mungkin akan marah-marah. Awalnya kami mencurigai salah satu diantara kami bertiga yang melepaskan sesuatu dari “Borax hole”. 

Hingga akhirnya sesuatu itu muncul sekali lagi dan kami pun bersama-sama mencari asal bunyi dan bau tersebut.
"Oowwhh…!!! Ngawur… Be’canda itu…” bersamaan kami merasakan kentut dari si nenek yang masih terlelap pagi itu… What a hell nice morning
*jadi kesimpulannya adalah mau seperti apapun manusianya, apapun statusnya, bagaimanapun bentuk dan warnanya… KALO UDAH KENTUT, PASTI BAU…!!!!*

Berikutnya

1 komentar:

echa euyy mengatakan...

wkakakakak...seru seru seru
berasa ikut d prjalanan tu dweh
kereeen bgt tua,lnjutkan..:DDD