Langkah Kesepuluh : A Promise


Waktu menunjukkan pukul 16.30 WIB
Hampir saja kami terlambat naik Kereta Progo menuju Jakarta, tapi untungnya dengan bantuan bapak petugas kereta api yang ada, kami segera mendapatkan kereta tujuan kami. Nah, gitu donk… good service.. Tentang di mana kami duduk, kali ini ada pepatah lama berguna dalam perjalanan pulang kami. Yaitu, jangan menilai buku dari sampulnya. Pengalaman kami duduk dalam perjalanan pulang ke Jakarta, akan ditemani seorang teman yang penampilannya agak seram waktu itu, tapi ternyata dia adalah seseorang yang menarik, punya wawasan cukup luas dan enak diajak ngobrol bermacam-macam hal, namanya Randy Rizla.
“Di Jogja kemana aja?” itulah awal dari panjangnya obrolan yang akan kami lakukan sepanjang perjalanan.

Langkah Kesembilan : Escape

Waktu menunjukkan pukul 07.30 WIB
Dalam langkah gontai dan mata yang  tertutup sayu, aku coba untuk meraih handphone yang terus berdering diatas meja. “hallo…” suara malasku menyambut pelan.
“Uta, gue dah di Jogja nih, lagi menuju Hotel tempat lo nginep… jemput yah di depan hotel, hehehe…” suara cempreng dan cerewet yang paling aku hafal di dunia ini membalas suara malas ku
Matahari pagi yang menyilaukan mata, membuatku merasa seperti binatang nocturnal yang dipaksa bangun pagi, dan sebuah suara sayup-sayup terdengar mendekat seperti memanggil namaku. “utaaaa….” Akhirnya terlihatlah tiga mahasiswa kesasar yang lagi turun dari becak.  “Akhirnya nyampe juga lo bertiga, selamat datang di Yogyakarta… Kenji, Icha, Aya…”

Langkah Kedelapan : The Master Plan makers

Waktu menunjukkan pukul 01.10 WIB
Bagi para nocturnal, malam adalah siang bagi mereka. Tapi bagi para day walkers, malam tetaplah malam. Keadaan tersebut akhirnya telah menumbangkan fisik para day walkers ini untuk tetap terjaga dan bercengkraman di Angkringan Lik Man, Yogyakarta. Nessa, Icha, Farida dan Eva terlihat sudah mencapai batasnya untuk tetap terjaga, bisikan angin malam menghipnotis mereka untuk menutup mata dan merebahkan tubuh untuk melihat alam mimpi. Hingga akhirnya, rasa kantuk juga yang menyudahi sebuah pesta kecil ini.

Langkah ketujuh : A song for friends

Waktu menunjukkan pukul 23.15 WIB
Selesai membantu Terezka dan Eva mendapatkan paket perjalanan yang sesuai, tujuan kami berikutnya ada di belakang Stasiun Tugu. Sebuah tempat dengan suasana yang bersahabat diiringi oleh alunan musik jalanan dan atmosfir keakraban yang diselimuti oleh sejuknya malam kota Jogja. Itulah Angkringan Lik Man.
I think, I want back to hotel now, I need to prepare our stuff for tomorrow… I’ll go with becak and I’ll be back here again…” Terezka memang kakak yang baik, dia bersedia mempersiapkan semua keperluan untuk perjalanan besok dan mengizinkan Eva untuk berkumpul bersama kami. Walaupun sudah ditawari bantuan, Terezka menolaknya dengan alasan kami sudah banyak membantu. Akhirnya Terezka tetap nekat naik becak sendirian dengan rute Angkringan Lik Man - Brojowijayan - Angkringan Lik Man dengan harga 20.000,-.

Langkah Keenam : The Gathering

Waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB
Mendekati waktu yang ditentukan oleh Terezka dan Eva untuk bertemu, entah kenapa aku agak gugup, beberapa kali aku coba menghubungi mereka, tapi tak ada jawaban. Jadi agak pesimis.
“Ujang... Asrul... ntar kalo gue ketemuan sama Terezka sama Eva, gimana? Kan lo berdua punya rencana untuk belanja nih...”
“Santai ja lah kawan... gue sama Asrul pengen jalan aja berdua, pengen coba berani jalan tanpa guide…”
“Lo beneran nggak mau belanja? Gue sama Ujang sih mau cari oleh-oleh di Malioboro...”
“Nggak deh, nggak mood belanja... tapi bener nih bisa ditinggal?”
Tadi sore, setelah pulang dari narsis di alun-alun utara, Sebelum sampai hotel, nggak tahu kenapa pas lewat di depan Pasar Beringharjo aku tertarik sama sebuah Kain batik berwarna merah. Akhirnya aku beli kain batik itu dan akan dihadiahkan sebagai kenang-kenangan untuk Terezka dan Eva. Tapi tiba-tiba hujan turun dan menyebabkan kain batik yang ku beli jadi sedikit basah. Karena takut bau, aku kasih aja parfum ala kadarnya dan aku bungkus rapih. Tapi, karena sampai sekarang nggak ada telpon dari mereka, aku jadi pesimis gitu deh... akhirnya aku hanya bisa menunggu sambil tidur-tiduran di kasur...
“nih yee, kalo mereka 5 menit lagi nggak nelpon, berarti ketemuan batal...” dan ternyata...

Langkah Kelima : Cauze you’re my friend

Waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB
 
Ketika matahari lagi lucu-lucunya berseri di atas kepala jutaan umat manusia yang merasakan panasnya siang itu. Ujang sibuk memilih sebuah Blangkon Gaya Solo Koncer seharga 15.000,-, Setelah mendapatkan apa yang diimpikan, kami membeli tiket masuk Candi Borobudur seharga 15.000,-.
“Ayo ganti baju dulu, saatnya narsis..” itulah rencana besar kita untuk di Borobudur. Sebuah toilet yang bersih menjadi tempat kami beganti wujud menjadi PN. PBB (Pemuda Narsis. Pemelihara Budaya Bangsa). “kalo bukan kita siapa lagi…” itulah slogan kita.

Langkah Keempat : Beautiful Dejavu

11 March 2010
Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB
Aku yang masih setengah terbangun dari tidur, rasanya berat mengangkat tubuh untuk segera bangun. “Ta, kita ke Borobudur jam berapa?” suara Asrul menghentak naluri, “Oia…!! Gue lagi di Jogja…!!” seketika tubuh ku yang awalnya terasa berat, langsung terbangun. “abis mandi, cari sarapan di Gudeg Wijilan, terus kita ke Sosrowijayan buat cari hotel, abis itu langsung kita ke Borobudur…” itu rencana kita hari ini.

Langkah ketiga : breakfast at afternoon and lunch at night



Waktu menunjukkan pukul 13.10 WIB
setelah menempuh perjalanan sekitar 16 jam yang seharusnya ditempuh dalam waktu 10 jam akibat adanya kereta anjlok, akhirnya kami menginjakkan kaki di daratan tanah Yogyakarta. Perasaan senang, kecewa karena jadwal yang terlambat dan semangat yang menggebu untuk segera menjelajah Jogja, bercampur menjadi satu di dalam keadaan kami yang lapar, badan bau keringat dan belom sikat gigi.
“Akhirnya nyampe juga… sekarang mandi dulu, cari sarapan trus langsung ke Prambanan.” Itu rencana ku ketika baru nyampe di Stasiun Kereta Api Lempuyangan, Yogyakarta. Ternyata kondisi toilet di stasiun lempuyangan lumayan baik dan memadai untuk kegiatan mandi (mungkin buat cuci baju juga bisa) dan harganya pun murah.

Langkah Kedua : Cross Gender

Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB
“Sebentar lagi keretanya mau masuk terowongan nih…” Si nenek berkata kepada kami yang sedang sibuk dengan buku bacaan kami masing-masing dan benar saja... Wwwuuusshhhh… dalam sekejap suasana menjadi gelap gulita dan hembusan angin terasa sangat berbeda. Tapi, di tengah suara anak-anak dan orang lain yang kaget karena tiba-tiba kereta memasuki terowongan, ada satu suara di depan ku yang jelas terdengar 
“Eh, Ngapain sih..??  Aduh…!!!” setelah keadaan kembali terang, ternyata terungkaplah kerjaan Ujang yang sedang mencoba memeluk asrul.
“Habis ini ada satu terowongan lagi yang paling panjang…” si nenek berkata lagi kepada kami. Setelah Asrul mengganti Posisi agar tidak menjadi bahan pelampiasan dari Ujang, aku mempersiapkan senter kecil untuk sedikit penerangan.
 
Wwwuuuussshh… benar saja kali ini terowongannya memang lebih panjang, tapi walaupun posisi telah ditukar Ujang sepertinya bisa melihat dalam gelap dan terjadilah perkelahian sambil berpelukan seperti para telertubles.

Langkah Pertama : Out of the box

9 March 2010
Bukan distorsi dari alat berat pengaduk semen atau distorsi dari efek gitar elektrik dengan sound system berukuran besar yang meraung-raung membisik telinga ketika ada konser musik Metal. Tetapi distorsi dari kebisingan Jakarta secara keseluruhan seakan dapat membunuh setiap mahluk yang ada di sekitarnya. Setiap pergantian waktu tak ubahnya seperti jantung yang terus berdetak, apabila dia berhenti, matilah semua. Aku berani bertaruh, semua akan berkata “Jenuh…!!!” Pada keadaan yang terjadi ini, tak terkecuali aku yang benar-benar jengah dengan keadaan Nyokap-Kote-Negare-Kite-Nyang-Katanye-Tercinte ini.
Aku coba untuk mati suri, ku ajak arwah ini melihat dunia lain, melihat alam yang berbeda, mendengarkan detak  jantung yang berbeda, berniat untuk mudik sekaligus membebaskan diri dari belenggu penat yang kian pekat menghitam di dalam logika.