Langkah Kelima : Cauze you’re my friend

Waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB
 
Ketika matahari lagi lucu-lucunya berseri di atas kepala jutaan umat manusia yang merasakan panasnya siang itu. Ujang sibuk memilih sebuah Blangkon Gaya Solo Koncer seharga 15.000,-, Setelah mendapatkan apa yang diimpikan, kami membeli tiket masuk Candi Borobudur seharga 15.000,-.
“Ayo ganti baju dulu, saatnya narsis..” itulah rencana besar kita untuk di Borobudur. Sebuah toilet yang bersih menjadi tempat kami beganti wujud menjadi PN. PBB (Pemuda Narsis. Pemelihara Budaya Bangsa). “kalo bukan kita siapa lagi…” itulah slogan kita.

Waktu menunjukkan pukul 12.45 WIB
Setelah berganti wujud, akhirnya kami menampakkan diri. Uta yang mengenakan Beskap, Ujang mengenakan Blangkon dan Asrul memakai Batik. Para PN. PBB ini langsung disambut dengan senyum kaget dan pandangan aneh dari orang-orang yang melihatnya, Tapi, mau bagaimanapun penilaian bangsa sendiri terhadap kami, dua orang wanita bule malah tiba-tiba memotret kami di tengah jalan dan mengacungkan jempolnya kepada kami.
“Pede aja lah… jarang-jarang kan yang kayak kita begini… kalo bukan kita yang bisa begini terus mau siapa lagi? Udah gitu kalo ada budaya kita dicontek atau dicolong, baru deh ngamuk-ngamuk” Aku setuju banget sama pendapat Ujang.
Waktu menunjukkan pukul 13.10 WIB 

Saat matahari memberikan kehangatannya di tengah-tengah Borobudur, setapak demi setapak kami menaiki satu persatu anak tangga demi bisa mencapai puncak Candi Borobudur. Sungguh sebuah perjuangan yang memberikan arti. Bahawa manusia harus berjalan selangkah demi selangkah untuk dapat mencapai nirwana.
“air minum mana? Haus bener gue…” karena kepanasan aku nggak kuat menahan haus.
“bukannya sama lo?” dan segera saja dari omongan Asrul tadi, aku baru inget kalo air minum itu ketinggalan di dalam Toilet. Akan tetapi, ada satu hal yang tiba-tiba membuat haus aku nggak terasa lagi, sebuah Patung Budha yang besar berdiri kokoh didepan mata dan langsung saja membuat kami yang kelelahan langsung bersemangat lagi.
“kamera mana? Ayo cari spot untuk motret…” naluri untuk narsis langsung menggebu-gebu.
Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB
ketika puncak Candi Borobudur telah kami gapai, lukisan-lukisan relief telah kami sentuh, mata kami telah merekam semua memori tentang Borobudur, hingga kegiatan narsis kami pun juga sudah terpenuhi lahir dan batin. Namun kami tetap merasa ada yang kurang di Borobudur. Setelah kami fikirkan sejenak, yang kurang adalah keganjilan yang ada pada fisik Borobudur. Banyak sekali Patung Budha yang hilang kepala dan tangannya. Bahkan beberapa relief yang ada di dinding Borobudur banyak yang patah.
“Ini kepalanya pada kemana yah?” Ujang bingung dengan apa yang dilihatnya.
“Dicuri… terus dijual secara gelap…” Ku jawab pertanyaan Ujang dengan nada datar.
“Siapa yang nyuri? Kurang ajar bener…” Asrul pun ikut berkomentar.
“Orang-orang yang bilang dirinya orang Indonesia… mereka tega menukar warisan budaya dengan segenggam uang…” Aku jadi kesel sendiri sama kelakuan oknum-oknum ini.
“Faktor ekonomi yang membuat mereka terpaksa melakukan ini..” Asrul coba berfikir positif
“Kalo karena faktor ekonomi, lo mau ngasih makan anak dan istri lo dengan uang haram??” Jawabannya relafit banget tuh, tiap orang pasti beda argument-nya.
Waktu menunjukkan pukul 13.45 WIB
Lupakan sejenak soal yang tadi… ada sebuah pengalaman baru yang benar-benar nggak akan pernah aku lupakan seumur hidup ini. Semua pengalaman yang akan terjadi ini, terus berlanjut hingga saat ini. “cause you’re my friend…” itulah kata-kata ajaib hari ini…
Ketika kami sedang berpose di pinggir stupa ada dua wanita bule secara diam-diam memotret kami lagi, kali ini Ujang yang sadar akan keberadaan mereka. Karena kegiatan mereka yang diam-diam itu diketahui oleh Ujang, maka mereka langsung pergi kebalik sebuah stupa kecil.
“Turun yuk, gue udah nggak tahan nih sama panasnya…” Asrul ternyata terkalahkan oleh panasnya matahari di puncak candi Borobudur. 
Excuse me, would you mind to help us?” Seorang wanita bule berambut pirang dan bertubuh tinggi tiba-tiba memanggil.
yes, what can I do for you? Ujang, Asrul tunggu dulu…!” Entah kenapa mereka ini langsung meluncur balik kanan meninggalkan aku sendiri. Tapi, aku malah merasa ada kesempatan nih buat tambah narsis.
could you take a picture for me and my sister?” Pinta si cewek bule.
sure…” Senyum lebar kayak iklan odol (Okee… kuping masih bener nih buat nangkep apa omongannya).
ok… thanks…” Tanpa basa basi mereka langsung pasang pose. “uumm, after this, can we take a picture with all of you?” akhirnya setelah sekian lama, aku bisa foto sama bule.
sure…!! Ujang, Asrul… sini dah… diminta foto bareng…” Hebatnya mereka, setelah mendengar panggilan itu, hanya dalam beberapa detik mereka langsung ada disampingku.
uumm, my name is Uta and this is my friends, Ujang and Asrul…” Aku mulai perkenalannya
I’m Terezka and this is my sister Eva…” Terezka adalah si kakak yang bertubuh tinggi dan berambut pirang.
hi, I’m Eva…” Eva adalah si adik yang tinggi tubuhnya hampir sama denganku, rambut eva di cat warna merah, dan dia manis loh… hehehe…
nice to meet you Terezka and Eva, where are you come from?” Pertanyaan basa basi dari ku ternyata mampu membuka percakapan yang lebih panjang di waktu berikutnya
 “Republic Ceko… where are you come from?” Jawab Terezka mudah
I’m from Jakarta… hey, lets take a picture..” Untuk mencegah ngobrol banyak dan aku nggak bisa jawab, maka sesi foto-foto pun dilaksanakan.
Waktu menunjukkan pukul 14.05 WIB
Setelah menuruni kawasan candi Borobudur, di tengah perjalanan kami menuju pintu keluar, kami berbincang cukup banyak hal tentang negara masing-masing. Jadi, sebenarnya Terezka dan Eva ini adalah backpacker yang sedang liburan di beberapa negara asia tenggara dan Indonesia menjadi negara tujuan utama dan terakhir dalam perjalanan mereka kali ini.
Hey, are you hungry? What about if we have lunch at Jogja?” Aku tawarin mereka makan bareng di Jogja
Ok... that’s a good idea… but we want to try local food…” Wah… mereka asik bener nih..
Wanna try Gudeg?” Aku coba menawarkan.
What…!!! a dog??? You guys eat dog???” Dasar kuping manusia itu tiap negara, beda budaya, beda bahasa, pasti akan beda deh dalam pemahaman bahasa yang didengarnya… Gudeg dibilang “dog” ?? Be’canda itu…
No… no… its not a dog of course… it’s a… sweet soup with vegetables, and the color of this soup is black…” Sumpah… karena aku nggak bisa mendefinisikan Gudeg dalam bahasa inggris yang tepat pada saat itu, makanya aku jelasin aja kalo gudeg itu adalah sup yang warnanya hitam dan rasanya manis (nggak tau kenapa mereka berdua malah ketawa ngakak).
Tapi, ketika kami semua lagi asik ngobrol, tiba-tiba “Miss… it’s a head of budha … its cheap… only one hundred thousand rupiah”.
Tiba-tiba seorang pedagang menghadang kami dan menyodorkan sebuah batu patung kepala Budha berukuran kecil dan membandrol harga Rp.100.000,- .. Nggak masuk akal banget, karena harganya yang terlalu tinggi aku bilang sama Terezka dan Eva untuk tidak berbelanja disini. Aku juga dengan sopan menolak para pedagang lain yang mendekati kami dan memaksa kami untuk membeli. Terezka dan Eva memang sempat menawar harganya, tapi karena benda tersebut dirasa terlalu berat untuk dibawa dalam tas mereka, maka kami terus berjalan dan tidak memperdulikan mereka.
“mas jangan menjatuhkan bangsa sendiri donk…!! Kalo memang sesama bangsa Indonesia, suruh mereka beli donk..!! jangan cuma karena bisa ngomong bahasa Inggris jadi sombong gitu..!! jangan jadi pengkhianat bangsa sendiri lah…!!” Apa-apaan sih mereka ini?? Kurang ajar banget aku dibilang pengkhianat bangsa.
“maaf yah pak, saya hanya mau mengantar teman saya ini untuk langsung pulang ke hotel, kami lagi dikejar waktu… mohon maaf sekali, kami nggak bisa belanja sekarang…” Aku coba untuk sabar dan menahan emosi.
“alahh..! nggak ada urusan saya sama orang sombong…” Pedagang itu langsung berhenti didepanku dan kembali menawarkan dagangannya kepada Terezka dan Eva.
         Hampir aku tonjok itu pedagang... Tapi, kalau aku berantem disini, aku akan kena masalah dan Terezka dan Eva juga akan kena masalah, dan liburan kita semua bisa kacau.
Dengan sisa kesabaran yang tinggal sedikit aku tarik tangan Terezka dan kabur dari mereka. Sedangkan Eva dijagain sama Ujang dan Asrul. Hingga akhirnya salah seorang pedagang yang putus asa mendatangi kami, “Its free…!! Its free…!! No pay..!! its for you..!!” Sambil marah-marah dia ingin memberikan dagangannya. Tanpa banyak bicara kami langsung pergi. Setelah kami jauh dari para pedagang itu, Terezka dan Eva terlihat masih agak ketakutan karena paksaan para pedagang tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 14.30 WIB
Kami berpisah dengan Terezka dan Eva di Food court Borobudur. Rasa lelah yang menghampiri kami menuntunkami beristirahat di bawah sebuah pohon. Saat kami beristirahat di bawah pohon di luar daerah Borobudur, dengan beberapa batang rokok dan air minum di tangan, kami meluruskan kaki sekaligus menenangkan hati. di tengah istirahat itu, kami membicarakan hal yang terjadi antara kami dan para pedagang tadi.
“Gue tadi cukup emosi tuh waktu pedagang itu bilang kita itu pengkhianat bangsa.. maksudnya apa itu?? Dalam hal apa kita mengkhianati?” Ujang mencoba mengeluarkan pendapatnya.
“Begini jang, kalo dilihat mereka salah, sih memang ada salahnya… tapi mereka sampai berbuat kayak gitu kan ada faktornya juga. Salah satunya karena kurangnya mendapatkan pendidikan tentang bagaimana memahami orang dari budaya lain yang berada di dalam kebudayaan kita… selain itu kayaknya faktor ekonomi menjadi penyebab kenapa mereka sampai nekat kayak gitu… uang sih… Cuma karena uang…” Asrul lebih mendefinisikan dengan cukup panjang dan rinci.
“lagi pula, nih ya… turis asing kayak Terezka dan Eva itu sering dikerjain sama penduduk lokal, apalagi dalam hal harga… pasti harganya di tembak tinggi dari harga yang seharusnya. Udah gitu, mereka bilang gue menjatuhkan sesama bangsa dan pengkhianat, tapi kalo mereka sadar dengan apa yang mereka lakukan itu sebenarnya malah menjatuhkan diri mereka sendiri di mata turis asing dan itu malah bikin nama Indonesia jelek… kalo para turis asing ini cerita ke orang lain di negara mereka atau di negara lain… malah bikin nama pariwisata Indonesia nggak baik donk…” Semoga ini bisa jadi bahan renungan deh buat semua.
“Kalo mereka bisa saling mengerti dan nggak mendesak seperti itu, gw yakin nggak akan ada kejadian kayak tadi dan mungkin kita akan belanja juga. Simple kan?... gitu aja kok repot…”
Waktu menunjukkan pukul 15.00 WB
Setelah kami sampai di terminal Borobudur, kami langsung naik bus kembali ke Jogja. Sebenarnya aku ingin menunggu Terezka dan Eva, tapi karena ternyata kami juga sudah kelaparan, akhirnya kami putuskan untuk segera kembali ke Jogja untuk makan di sana. Sepanjang perjalanan kami kembali ke Jogja, aku sebenarnya merasa nggak enak sama para pedagang itu, di satu sisi mereka salah, tapi di sisi lain mereka juga membutuhkan uang. Aku jadi berfikir kalau aku jadi mereka mungkin akan bertindak seperti itu juga. Hhuuuufftt… jadi bingung dan capek sendiri, akhirnya dalam perjalanan kembali ke Jogja, aku dengan suksesnya tidur didalam bus.
Waktu menunjukkan pukul 15.50 WIB
Kami telah kembali di terminal bis Jombor, Yogyakarta. “gue laper banget nih kawan.. makan apa yah yang enak?” Asrul dengan tampang lemasnya benar-benar terlihat kelaparan
“Iya ta… ada rekomendasi nggak? Yang pasti khas Jogja deh” Ujang pun sepertinya mengalami hal yang sama seperti Asrul
“Iya gue ngerti… Sebentar gue liat-liat dulu…” Dan benar saja nggak jauh dari shelter bus Trans Jogja ada sebuah warung makan yang menyediakan tongseng, ini adalah makanan kesukaan ku dari dulu. “Nah itu dia tuh ada warung makan, ada tongseng juga tuh… kesitu aja yuk..” Aku langsung semangat buat wisata kuliner lagi.


“Tongseng itu apaan ta? Gue belom pernah denger makanan kayak gitu…” Asrul yang masih awam dengan tongseng menjadi agak ragu
“Gue pernah tu makan tongseng.. dimana ta tempatnya? Kayaknya mantab nih..” Ujang yang kayaknya pernah punya pengalaman pribadi dengan tongseng, memilih untuk ikut dan akhirnya Asrul pun ikut dengan rasa penasarannya juga.
Tepat di sebrang shelter bus Trans Jogja di terminal Jombor ada sebuah warung makan kecil yang menyediakan tongseng, dan beberapa makanan lainnya. Kami bertiga yang kelaparan ini pun langsung memesan tongseng daging sapi + nasi + kerupuk + teh manis hangat + es campur, dengan total harga 15.000,-. Sebuah harga yang fantastis dengan variasi menu yang beragam.
Sambil menikmati hidangan tongseng yang mantaaabbb…!!! Buangeeetttt….!!! Kalau kata Ujang, “ini tuh Emaaakk… NYuuuusssss…. aku masih memikirkan Terezka dan Eva. Beberapa kali mata ini selalu melihat pada setiap kedatangan bus yang datang dari arah Borobudur, berharap mereka sampai di Jogja dalam keadaan baik-baik saja. Beberapa bus yang datang tak menunjukkan keberadaan mereka di terminal Jombor, aku yakin mereka akan lewat sini. Karena mereka akan naik Trans Jogja untuk sampai ke Brojowijayan.
“pasti lo lagi nungguin Terezka dan Eva kan??” Asrul ternyata beneran jadi peramal.
“iya nih…” Mungkin aku menyerah untuk ketemu mereka lagi. Tapi karena hujan yang tiba-tiba turun cukup deras, akhirnya kami harus beristirahat di warung makan ini untuk beberapa saat sampai hujan berhenti. Hingga akhirnya… 
“Itu dia...!!!” Ditengah hujan yang cukup lebat, aku melihat mereka lagi mau masuk ke dalam shelter bus.
 “Terezka…!!! Eva…!!! Hey…!!! Terezka…!!! Eva…!!!” Aku teriak-teriak kayak orang gila. Tapi mereka nggak denger sama sekali (ato memang kuping mereka yang beda sendiri yah radarnya).
“Samperin aja ta… dari pada lo teriak-teriak kayak orang gila gitu…” Asrul memberikan saran yang malas ku lakukan ditengah hujan gini. Tapi demi kedua teman baru ku ini, hujan pun ku terjang…
Aku pun akhirnya lari di tengah hujan sambil menyebrang jalan raya di depan terminal Jombor untuk sekali lagi menyapa mereka.
Hey… Terezka… Eva… finally… how’s your lunch?” Aku sapa mereka tepat di depan shelter bus Trans Jogja terminal Jombor.
Hey…!! oh my god… we meet again… it’s like a dream…” Aku nggak sangka Terezka akan kaget sampe kayak gitu
What are you doing here?” Eva juga sama kagetnya kayak Terezka. Sumpah… aku nggak tahu kenapa mereka se-begitu kagetnya… hehehe…
We’re having lunch at a local restaurant.. and we eat a spicy-delicious-cheap local food only with 15.000,-” sekedar informasi, kalau Ujang liat tampang mereka setelah mendengar hal itu pasti dia bakalan senyum-senyum sambil angkat sebelah alisnya.
Nooo…!!!!!” mereka barengan menjawab itu dengan ekspresi nggak percaya dan menyesal karena nggak ikut makan bareng.
By the way… you stay at brojowijayan right? We stay at sosrowijayan. What if tonight we hang out together?” Tanpa sadar aku nekat ngajak mereka jalan nanti malam.
We would like to, but my sister already had another promise to meet her friends from Semarang…” Yah kayaknya akan hilang deh kesempatan ku.
Uumm… ok… what if… no, I mean… may I come to join the gathering?” wah kayaknya aku sudah kelewat narsis deh
Sure… why not… it’s good..” Eva langsung menyetujui
Setelah bertukar nomor handphone dan membantu mereka dalam menemukan rute yang dapat mereka tempuh untuk mencapai brojowijayan, kami pun berpisah lagi ditengah guyuran hujan yang mulai reda.
Waktu menunjukkan pukul 16.50 WIB
Kami sampai di shelter bus Trans Jogja di Malioboro. Karena kami ingin menikmati udara sore dan melihat sunset di alun-alun utara, jadi kami bertiga setuju jalan kaki untuk sampai ke keraton Jogja. Tapi ternyata…
“Keraton mah udah tutup mas dari jam setengah dua siang tadi” Itu kata tukang becak dekat keraton.
Ternyata hasil capek kami jalan kaki dari ujung ke ujung, hanya membuahkan beberapa foto di depan gerbang keraton, foto sunset dan foto narsis nggak jelas. Setelah menyerah karena nggak ada yang bisa diperbuat lagi disana, akhirnya kami memutuskan pulang ke hotel, sekali lagi… Jalan Kaki…

Maju dulu...

Mundur dulu...

Tidak ada komentar: