Tungku is the best

(sebelum Tulisan ini Dibajak oleh koran daerah kampung halamanku, ini adalah tulisan aslinya)

Memasak adalah salah satu hobiku ketika lapar melanda, walaupun nggak sehebat koki-koki yang sering muncul di tv, tapi aku diwarisi oleh nenek (mbah) ku dikampung beberapa resep handal demi mengisi perut ketika lapar di kosan (padahal kalau lagi malas masak sih, Warteg menjadi andalan). 

Kalau mau dilihat lagi, sebenarnya aku itu anak kampung, karena kalau ditanya “kampungnya dimana?” Aku pasti jawab, “Desa Baledono, Purworejo, Jawa Tengah”. Untuk beberapa orang yang tahu, pasti langsung merespon dengan kata-kata “ooo... disitu..” dengan senyum lebar dan tatapan kosong. Tetapi, bagi yang tidak begitu tahu atau tidak tahu sama sekali biasanya cuma jawab “ya... ya.. ya..” persis kayak iklan KB jaman aku kecil. 

Walaupun Kampung ku ini masih bisa dibilang berada disebuah kota kecil, tapi keluarga ku di kampung masih mempertahankan sebuah dapur tradisional yang sudah ada sejak jaman ibu ku masih kecil. Kalau ditanya kenapa, jawabannya adalah “mempertahankan tradisi”.
Dapur tradisional bernuansa Jawa Tengah ini ruangannya cukup luas, lantainya bukanlah ubin atau keramik yang cantik, melainkan tanah yang mengeras. Langit-langitnya yang disanggah dengan sebuah pasak utama ditengah dan beberapa pasak lainnya di sekeliling dapur tidak batasi dengan plafon yang diukir indah, melainkan atap-atap (genteng) tanah liat yang disusun rapih. walaupun sudah cukup tua usianya namun masih kokoh dan mampu memberikan kesejukan tersendiri ketika aku melihat ke atas dan melihat beberapa biasan cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah atap atau melalui beberapa atap yang berlubang.

Terdapat dua buah bale-bale di dalam dapur. Bale-bale yang pertama digunakan biasanya untuk menyiapkan bahan masakan yang akan dimasak, dan bale-bale yang kedua digunakan untuk berjualan. Karena keluarga ku di kampung masih berjualan makanan yang di jual langsung dari dapur tradisional tempat makanan tersebut dibuat. Menu makanannya bermacam-macam mulai dari goreng tempe, goreng tahu, opor ayam, sayur melinjo, sayur tahu pedas, dan lain-lain. (sumpah langsung laper... jadi mau pulang kampung kalau begini...)

Kompor yang digunakan adalah kompor tradisional yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk menjadi tungku. Ada empat buah tungku di dapur, mungkin tungku-tungku itu usianya lebih tua daripada usia ibu ku.  Bagaimana cara menggunakannya?

Pertama, memasak menggunakan tungku tidak menggunakan gas, listrik, apalagi nuklir. Cukup menggunakan kayu bakar sebagai bahan pembakarnya, kayu-kayu ini bisa diambil dari batang-batang pepohonan yang ada disekitar kampung serta kayu-kayu basah yang sudah dikeringkan. (lebih hemat kan?)

Kedua, siapkan korek api dan sedikit minyak tanah sebagai pemicu api agar mudah membakar kayu. Tidak perlu repot menggunakan banyak minyak tanah, gas ataupun listrik yang semakin lama semakin mahal di negara ini.

Ketiga, siapkan sebilah bambu bolong berukuran sedang yang berguna untuk meniup api agar bisa diatur dengan baik sesuai keinginan kita. Karena kalau nggak ada bambu ini, ketika kita ingin mengatur nyala api, apa iya harus kita tiup apinya dalam jarak dekat, nanti bisa-bisa malah bibir kita yang gosong terkena api langsung. Atau mungkin dengan dikipas... yah bisa saja sih, tapi setelah itu kita akan langsung melihat kembang api dari kayu yang terbakar meloncat-loncat riang lalu mendarat di kulit.

Kelihatannya repot banget yah masak dengan peralatan dan suasana seperti itu, tapi percayalah... makanan yang dibuat tidak secara instan, dan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam membuatnya, akan menghasilkan sebuah kuliner yang bercita rasa tinggi dan kepuasan dari pembuat dan penikmatnya pun, akan terasa nikmatnya.

Nggak percaya?? Lain waktu, ayo ke kampung aku

4 komentar:

PRIVATE TOEFL JOGJA VIA WA mengatakan...

ingat rumah simbah

pepi mengatakan...

Dirumah ibuku juga masih seperti itu, :D like this post

Uta Goblog mengatakan...

@Pepi : Waahh,, Rumah Ibunya dimana ? :D boleh juga tuh main kapan-kapan hehehe

@kak Mila : Iya mbak.. aku juga kangen :)

Anonim mengatakan...

Antik. Laku dijual sbg wisata minat khusus ni.