Kalau biasanya Bolang Jawir itu backpacking dari kota ke desa atau daerah lain yang mempunyai nilai keindahan alam yang menenangkan mata, jiwa dan memiliki unsur petualangan. Bahkan kadang-kadang nyasar di suatu daerah yang tak dikenal pun pernah terjadi sama aku sebagai backpacker junior ini. Tapi, kali ini pengalaman berpetualang dan nyasar agak beda dari pengalamanku yang lain, karena walaupun cuma beberapa jam saja, tapi serasa aku sudah berpetualang selama satu hari penuh. Kemana aku berpetualang?...Jawabannya adalah Muter-muter di tiga mall yang ada di Jakarta dalam satu hari... (-_-!)
Minggu, 31 Oktober 2010.
Siang itu udara yang panas tidak begitu kami hiraukan dalam petualangan kami berdua menjelajahi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta. Niat yang tersirat dalam diskusi kami di dalam bus Trans Jakarta adalah mau nonton eat, pray, love.
Setelah turun dari bus Trans jakarta, di tengah perjalanan menuju ex Plaza Indonesia, kami tergoda oleh es podeng di depan plaza indonesia.
Setelah melewati kedutaan Jepang, kami akhirnya sampai di depan sebuah mall yang berwarna-warni dengan desain arsitektur modern yang membuat aku berkata dalam hati “Ini toh yang namanya ex Plaza Indonesia itu...”
Aku banyak memperhatikan tiap sudut ruang di dalam mall dengan mataku, terkadang memutar kepala untuk mendapatkan gambaran yang jelas (kayak burung hantu). Tetapi aku melihat si Mbem terlihat santai saja berada di dalam mall tanpa peduli apa yang ada disekitarnya, hingga akhirnya dia merasa ada yang aneh sama diriku ini.
Sebelum memesan karcis nonton bioskop, sempat kami berputar-putar melihat keadaan mall ini yang penuh dengan tempat berbelanja dan restoran yang sepertinya diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah - atas hingga masyarakat kelas atas - atas.
Sesampainya di tempat memesan karcis bioskop, ternyata film yang ingin kami lihat sudah tidak diputar di bioskop tersebut, dan berdasarkan informasi dari karyawan bioskop, film eat, pray, love masih di putar di Plaza Indonesia. Jadi, kesanalah tujuan kami berikutnya.
Berjalan menelusuri lorong-lorong mall sepertinya menjadi sesuatu yang asing bagiku. (kelamaan hidup di hutan begini-nih...) Aku seolah tak terbiasa dengan pemandangan di mana setiap sudut menawarkan berbagai macam produk yang sebagian besar merupakan produk yang memiliki merek yang berasal dari luar negeri. Entah itu adalah merek yang sangat terkenal, terkenal saja, cukup terkenal atau tidak terkenal sama sekali.
Produk-produk disini seakan-akan ditujukan bagi masyarakat yang dianggap sebagai masyarakat kelas eksekutif atau kelas atas, yang membutuhkan perlengkapan atau peralatan bermerek untuk kehidupan sehari-hari mulai dari pakaian, barang-barang elektronik, jam tangan, alat kesehatan, perhiasan, obat-obatan, perabotan rumah, dan lain-lain.
Bahkan hiburan atau sekedar pelepas lelah setelah berkerja seperti makanan dan minuman dalam restoran yang terlihat mewah atau tempat hiburan dengan servis yang memanjakan diri seperti spa, pijat refleksi, salon, bioskop, karaoke, dan lain-lain. Sepertinya uang mudah sekali mengalir di sini dalam hitungan detik dengan jumlah transaksi yang besar.
Sebagai contoh, sepasang sepatu hitam mengkilap yang bermerek luar negeri, dihargai Rp. 14.000.000,-. Hehehe... kalau aku, mikir berkali-kali deh untuk beli yang begitu. Yang aku beli sepatu, bukan merek-nya.
Melihat semua ini, aku semakin berfikir bahwa inikah yang disebut produk dari budaya konsumtif masyarakat modern? Entahlah... aku simpan pertanyaan ini untuk dijawab suatu waktu nanti, karena aku bukan seorang shoppaholic atau tukang belanja yang hobi muter-muter berbagai mall setiap waktu.
Kami pun akhirnya mendapatkan dua buah tiket nonton film eat, pray, love pukul 15.00 WIB. Cukup lelah kami berjalan, kami akhirnya duduk menunggu di dalam ruang tunggu bioskop yang memang di desain nyaman dan menarik orang-orang untuk betah berada di dalamnya sambil berbelanja hidangan yang disediakan pihak bioskop. Kalau soal harga, aku berani taruhan, sebotol air mineral ukuran kecil, harganya bisa naik dua kali lipat dari harga pasaran umumnya. Kenapa yah? Apa karena tempatnya, atau ada hal lain? Hehehe... kalau ada yang bisa bantu jawab, kasih tahu saya yah... sekalian belajar gitu deh saya... (^_^)
Tidak lama kami menunggu, kami pun masuk ke dalam ruangan bioskop yang dingin ber-AC dan memiliki barisan bangku-bangku yang rapih (kalau nonton layar tancep duduk aja di lapangan, dimana aja jadi... hehehe). Ketika film dimulai, seluruh lampu pun diredupkan sedemikian rupa dan suara dari susunan sound system berukuran besar mulai menunjukkan kualitas prima-nya.
Selesai menikmati film, perut lapar kami meminta diisi oleh makanan yang bukan hanya membuat kami kenyang tapi juga bisa menenangkan. Sambil berjalan kami sedikit diskusi tentang film tersebut berdasarkan pendapat kami masing-masing (mending nggak usah dibahas bagian ini, kayaknya kami berdua juga nggak begitu ngerti detail ceritanya gimana). Tanpa terasa, sudah hampir tiga puluh menit kami berjalan memutari mall ini dari atas hingga ke bawah mencari tempat makan yang sesuai dengan selera dan kantong kami tentunya, hehehe...
Semakin jauh kami berputar, ternyata kami kembali ke tempat yang sama. Cukup malu juga, takut ada yang berfikir bahwa “ada dua orang yang bener-bener nyasar di mall dan ga bisa nemuin pintu keluar...”
Akhirnya aku ambil keputusan sendiri untuk tanya ke satpam, dan setelah bertanya, ternyata... pintu keluar itu cuma sekitar seratus meter dari tempat kami berdiri, dan yang lucu adalah wajah si Mbem yang langsung tersenyum dan menjadi agak merah karena malu. Karena kami tidak menemukan tempat yang menurut kami sesuai selera, akhirnya kami berpindah ke tujuan semula yaitu makan di sarinah. #capeeee deeehhhh#
Ternyata foodcourt-nya itu ada di paling bawah dari mall ini. ada beberapa pilihan menu yang Indonesia banget. Pokoknya sesuai deh sama selera. Padahal, emang kita yang lidahnya tuh tradisional. Susah di ajak makanan yang beda rasa, beda budaya. Hehehehehe...
Acara makan malam kami, diselingi oleh tawa dan obrolan tentang hari ini... Makasih yah Mbem, dah ajakin aku nge-bolang di mall... kapan-kapan gantian yah... aku ajakin kamu naik perahu nelayan, menelusuri sungai, memandangi tebing, berenang di anak sungai, dan berjalan menuju pantai. Akhirnya pulang naik bus malam. Hehehe...
Inilah percakapan semalam, antara Bolang dan Mbem melalui telfon genggam mereka masing-masing...
“Bol... jalan-jalan yuk sekalian kita nonton film eat, pray, love...” Ajak si Mbem, pacarku yang katanya baru dapat honor dari syutingnya beberapa waktu yang lalu ini.
“Boleh... tapi aku lagi belom datang bulan nih... gimana donk?” Jawab Bolang, pacarnya si Mbem yang kalau tanggal tua cuma diem di dalam kamar karena nggak ada uang buat jalan-jalan.
“Apaaa?? udah berapa lama telatnya? garisnya satu apa dua? Yang harus tanggung jawab siapa?” Tanya Mbem makin bingung dan penasaran.
“Maksudnya, aku belom ada uang akhir bulan ini...” Jawab Bolang datar.
“Ya udah... besok sama aku aja, aku lagi mau jalan-jalan pokoknya, besok jemput aku yah...” Memang deh pacar si Bolang ini memang baik.
“Okeee...” Jawab Bolang dengan senyum yang lebar.
Dan inilah petualangan Bolang Jawir menemani pacarnya jalan-jalan.
Siang itu udara yang panas tidak begitu kami hiraukan dalam petualangan kami berdua menjelajahi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta. Niat yang tersirat dalam diskusi kami di dalam bus Trans Jakarta adalah mau nonton eat, pray, love.
Setelah turun dari bus Trans jakarta, di tengah perjalanan menuju ex Plaza Indonesia, kami tergoda oleh es podeng di depan plaza indonesia.
“Mbem, pernah ke ex Plaza Indonesia?”.
“Belom pernah... memangnya kenapa?”.
“Nggak apa-apa kok, aku juga belom pernah. Ini malah yang pertama.” Jawab Bolang datar.
Setelah melewati kedutaan Jepang, kami akhirnya sampai di depan sebuah mall yang berwarna-warni dengan desain arsitektur modern yang membuat aku berkata dalam hati “Ini toh yang namanya ex Plaza Indonesia itu...”
Aku banyak memperhatikan tiap sudut ruang di dalam mall dengan mataku, terkadang memutar kepala untuk mendapatkan gambaran yang jelas (kayak burung hantu). Tetapi aku melihat si Mbem terlihat santai saja berada di dalam mall tanpa peduli apa yang ada disekitarnya, hingga akhirnya dia merasa ada yang aneh sama diriku ini.
“Ada apa Bol..? kok kamu keliahatan bingung gitu?” Tanya Mbem.
“Aahh, nggak ada apa-apa kok... tempatnya bagus yah.” Jawab ku santai.
Sebelum memesan karcis nonton bioskop, sempat kami berputar-putar melihat keadaan mall ini yang penuh dengan tempat berbelanja dan restoran yang sepertinya diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah - atas hingga masyarakat kelas atas - atas.
Sesampainya di tempat memesan karcis bioskop, ternyata film yang ingin kami lihat sudah tidak diputar di bioskop tersebut, dan berdasarkan informasi dari karyawan bioskop, film eat, pray, love masih di putar di Plaza Indonesia. Jadi, kesanalah tujuan kami berikutnya.
Berjalan menelusuri lorong-lorong mall sepertinya menjadi sesuatu yang asing bagiku. (kelamaan hidup di hutan begini-nih...) Aku seolah tak terbiasa dengan pemandangan di mana setiap sudut menawarkan berbagai macam produk yang sebagian besar merupakan produk yang memiliki merek yang berasal dari luar negeri. Entah itu adalah merek yang sangat terkenal, terkenal saja, cukup terkenal atau tidak terkenal sama sekali.
Produk-produk disini seakan-akan ditujukan bagi masyarakat yang dianggap sebagai masyarakat kelas eksekutif atau kelas atas, yang membutuhkan perlengkapan atau peralatan bermerek untuk kehidupan sehari-hari mulai dari pakaian, barang-barang elektronik, jam tangan, alat kesehatan, perhiasan, obat-obatan, perabotan rumah, dan lain-lain.
Bahkan hiburan atau sekedar pelepas lelah setelah berkerja seperti makanan dan minuman dalam restoran yang terlihat mewah atau tempat hiburan dengan servis yang memanjakan diri seperti spa, pijat refleksi, salon, bioskop, karaoke, dan lain-lain. Sepertinya uang mudah sekali mengalir di sini dalam hitungan detik dengan jumlah transaksi yang besar.
Sebagai contoh, sepasang sepatu hitam mengkilap yang bermerek luar negeri, dihargai Rp. 14.000.000,-. Hehehe... kalau aku, mikir berkali-kali deh untuk beli yang begitu. Yang aku beli sepatu, bukan merek-nya.
Melihat semua ini, aku semakin berfikir bahwa inikah yang disebut produk dari budaya konsumtif masyarakat modern? Entahlah... aku simpan pertanyaan ini untuk dijawab suatu waktu nanti, karena aku bukan seorang shoppaholic atau tukang belanja yang hobi muter-muter berbagai mall setiap waktu.
Anyway, kita sampai di Plaza Indonesia. Tidak kalah megah dan gemerlapnya mall yang satu ini dengan ex Plaza Indonesia dan yang pasti, tokonya juga banyak banget disini. Perjalanan kami menuju bioskop di Plaza Indonesia ini, tidak terlalu berbeda dengan yang sebelumnya, melewati lorong-lorong gemerlap dan barisan toko-toko mewah.
Kami pun akhirnya mendapatkan dua buah tiket nonton film eat, pray, love pukul 15.00 WIB. Cukup lelah kami berjalan, kami akhirnya duduk menunggu di dalam ruang tunggu bioskop yang memang di desain nyaman dan menarik orang-orang untuk betah berada di dalamnya sambil berbelanja hidangan yang disediakan pihak bioskop. Kalau soal harga, aku berani taruhan, sebotol air mineral ukuran kecil, harganya bisa naik dua kali lipat dari harga pasaran umumnya. Kenapa yah? Apa karena tempatnya, atau ada hal lain? Hehehe... kalau ada yang bisa bantu jawab, kasih tahu saya yah... sekalian belajar gitu deh saya... (^_^)
Tidak lama kami menunggu, kami pun masuk ke dalam ruangan bioskop yang dingin ber-AC dan memiliki barisan bangku-bangku yang rapih (kalau nonton layar tancep duduk aja di lapangan, dimana aja jadi... hehehe). Ketika film dimulai, seluruh lampu pun diredupkan sedemikian rupa dan suara dari susunan sound system berukuran besar mulai menunjukkan kualitas prima-nya.
Film yang kami tonton ini, dibintangi oleh Julia Robert, seorang aktor kawakan dari amerika. Film ini bercerita tentang perjalanan Julia sebagai seorang penulis sekaligus traveller yang diberikan ramalan oleh seorang dukun di pulau bali yang bernama Ketut. Dia meramalkan bahwa Julia akan mengalami dua perceraian dan kemudian dia akan kehilangan harta bendanya. Dengan sebuah perjalanan, dia akan kembali ke Bali, dan mendapatkan kembali apa yang hilang dari dirinya. Ternyata, apa yang diramalkan dukun tersebut menjadi nyata. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan bagaimana Julia Robert mendapatkan kembali apa yang hilang darinya? “nonton sendiri aja dah... panjang dan akan capek aku ceritanya...”
Selesai menikmati film, perut lapar kami meminta diisi oleh makanan yang bukan hanya membuat kami kenyang tapi juga bisa menenangkan. Sambil berjalan kami sedikit diskusi tentang film tersebut berdasarkan pendapat kami masing-masing (mending nggak usah dibahas bagian ini, kayaknya kami berdua juga nggak begitu ngerti detail ceritanya gimana). Tanpa terasa, sudah hampir tiga puluh menit kami berjalan memutari mall ini dari atas hingga ke bawah mencari tempat makan yang sesuai dengan selera dan kantong kami tentunya, hehehe...
“Mbem,mau makan dimana?” Mbem nggak tahu apa aku dah kelaperan ini.
“Tenang aja, pintu keluarnya sebelah sana... aku tahu kok, aku pernah kesini...” Tunjuk Mbem penuh kepastian
“Lebih baik tanya aja yah sama satpam, biar nggak nyasar...” Anjuran ku ini hanya dibalas gelengan kepala si Mbem
“Aku malas tanya, percaya aja sih... kalo kamu kan hobinya nge-bolang di hutan, sekali-kali aku ajakin nge-bolang ala aku, di mall... jadi sekalian aja aku bikin kamu nyasar di mall...” Ternyata inilah rencana manis si Mbem untuk aku hari ini. (T_T)
Semakin jauh kami berputar, ternyata kami kembali ke tempat yang sama. Cukup malu juga, takut ada yang berfikir bahwa “ada dua orang yang bener-bener nyasar di mall dan ga bisa nemuin pintu keluar...”
Akhirnya aku ambil keputusan sendiri untuk tanya ke satpam, dan setelah bertanya, ternyata... pintu keluar itu cuma sekitar seratus meter dari tempat kami berdiri, dan yang lucu adalah wajah si Mbem yang langsung tersenyum dan menjadi agak merah karena malu. Karena kami tidak menemukan tempat yang menurut kami sesuai selera, akhirnya kami berpindah ke tujuan semula yaitu makan di sarinah. #capeeee deeehhhh#
Jalanan yang basah setelah hujan menjelang petang
deru-deru kendaraan hilir mudik menuju peraduan
kuning temaram lampu jalanan berbaris memberi tahu arah
langkah ini tak lagi dua ketukan seperti dulu
sore ini langkah itu menjadi empat ketukan
titik-titik sisa hujan jatuh di wajah
membasuh lelah ungkap satu indah
tak ada matahari terik yang menyinari
bukan purnama yang menunjukkan bintang
lampu jalanan menjelang petang
tampakkan senyum ceria
sang putri
deru-deru kendaraan hilir mudik menuju peraduan
kuning temaram lampu jalanan berbaris memberi tahu arah
langkah ini tak lagi dua ketukan seperti dulu
sore ini langkah itu menjadi empat ketukan
titik-titik sisa hujan jatuh di wajah
membasuh lelah ungkap satu indah
tak ada matahari terik yang menyinari
bukan purnama yang menunjukkan bintang
lampu jalanan menjelang petang
tampakkan senyum ceria
sang putri
........................................................
“Kita tanya satpam lagi yah, foodcourt-nya...” Belum selesai aku bicara, Mbem langsung menarik tangan ku
“Nggak usah tanya, langsung aja... ada diatas kok...” Sekali lagi aku diajak muter-muter dari lantai bawah santai lantai atas, yang isinya kebanyakan adalah pakaian, gaun, batik, kebaya dan segala macam benda-benda hasil kerajinan tradisional Indonesia.
Ternyata ada perbedaan yang cukup mencolok dari dua mall yang aku lihat tadi, di sarinah ini, banyak menjual barang-barang yang berasal dari produksi dalam negeri Indonesia. Seperti batik, kebaya, pakaian adat yang modelnya cukup modern, hiasan-hiasan rumah dan oleh-oleh. Tetapi ketika aku lihat harganya, cukup mahal juga untuk ukuran barang-barang produksi dalam negeri. Sepertinya sih pasarannya adalah para pendatang dari luar negeri yang sedang berada di Indonesia. Karena dari tadi yang aku lihat di dalam mall ini adalah para turis luar negeri.
Back to Mbem...
“Ini udah lantai paling atas Mbem... mana foodcourt-nya?” Tanya aku sambil tahan ketawa
“Aku kan baru pertama kali kesini, dan biasanya foodcourt itu kan di atas. Mall-nya aja yang aneh..” Sekali lagi si Mbem salah. Aku nggak kuat tahan ketawa lagi, sambil menuruni tangga escalator aku tertawa sepuasnya sambil dicubitin sama si Mbem.
Ternyata foodcourt-nya itu ada di paling bawah dari mall ini. ada beberapa pilihan menu yang Indonesia banget. Pokoknya sesuai deh sama selera. Padahal, emang kita yang lidahnya tuh tradisional. Susah di ajak makanan yang beda rasa, beda budaya. Hehehehehe...
Acara makan malam kami, diselingi oleh tawa dan obrolan tentang hari ini... Makasih yah Mbem, dah ajakin aku nge-bolang di mall... kapan-kapan gantian yah... aku ajakin kamu naik perahu nelayan, menelusuri sungai, memandangi tebing, berenang di anak sungai, dan berjalan menuju pantai. Akhirnya pulang naik bus malam. Hehehe...
1 komentar:
ya ampun kaya apa sih tampang orang lucu ni
Posting Komentar