Ironi Anak Kos Pinggiran Sungai

KuuKuuRuuYuuuukkkk...!!! Tok tok... Petok Petok...!!! Suara gahar si Jalu, ayam jantan tetangga yang katanya “dikebiri” biar menang adu ayam ini, membuyarkan mimpiku yang lagi piknik romantis berdua dengan Happy Salma di Kebun Raya Bogor sambil gelar tikar, makan kue kering dan minum es-teh-manis-hanget. 
Perlahan kubalik posisi tubuh dari tengkurap jadi telentang.. eh, terlentang. Karena kalau tidur TELENTANG, bisa Mati....!!! bahaya ituuu...!!!

Sebelum sepenuhnya sadar dan bangun dari tempat tidur, aku biasanya melakukan ritual Ngulet di atas kasur. Ini adalah sebuah gerakan yang dilakukan ketika akan bangun tidur untuk menghabiskan sisa-sisa tidur dan mengumpulkan tenaga, sebelum beranjak dari tempat tidur. Gerakan Ngulet pada umumnya adalah merentangkan tangan keatas, meliuk-liukkan tubuh ke kiri dan ke kanan, mengangkat kedua kelopak mata bersamaan secara perlahan-lahan dan menguap keras sambil membetulkan posisi celana yang nggak tahu kenapa suka melorot sendiri ketika tidur. 

Bias-bias cahaya pagi perlahan memenuhi melalui jendela dan celah-celah dinding triplek kamar kos yang berukuran 2X3 meter. Pernah temanku yang main kesini bilang kalau kamar ini hampir mirip peti mati. Tapi, posisi kamar yang menghadap ke timur adalah posisi ideal untuk ku, sangat cocok untuk bangun pagi sambil olahraga kecil di dalam kamar. lumayanlah, buat cari keringat pagi, biar sehat \(^_^)/.

Sudah sekitar dua setengah tahun aku sudah tinggal di kamar kos ini, jaraknya yang tidak terlalu jauh dengan kampus dan harganya yang murah menjadi pilihan yang ideal. Tapi ada satu hal yang cukup ironis disini, yaitu keadaan lingkungannya yang cukup jauh dari kata bersih. Biarpun begitu, tempat ini memberikan berbagai inspirasi untukku. 

Aku tinggal di sebuah pemukiman padat penduduk yang bisanya disebut sebagai “kawasan kumuh”. Rumah kos yang aku tinggali adalah rumah sederhana yang berdempetan dengan puluhan rumah lain. Kamarku di lantai dua, ketika membuka pintu dan mencoba menghirup udara bebas di balkon yang juga biasa jadi tempat jemuran ini, aku selalu disuguhi dengan pandangan rumah-rumah padat berdempetan yang berjajar lurus tak ter-urus disepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) Cawang yang pekat dan dihuni oleh berbagai sampah buangan rumah tangga dan industri rumah tangga di sekitarnya.

Setelah bingung melihat jemuran celana dalam wanita ukuran XL yang nyasar ke balkonku pagi ini, aku bersiap mandi. Kegiatan ini adalah yang paling memacu adrenalin, karena aku harus berlari menuruni tangga dan merebut satu-satunya kamar mandi dari para anak-anak kos yang lain. kalau bisa dapat pertama, merdekalah aku. Tapi kalau kalah cepat, harus rela antri di depan kamar mandi. Karena, mandi pagi merupakan kegiatan yang paling banyak ritualnya. 

Mulai dari bengong, luluran, bersenandung, Boker (buang hajat besar), sampai “buang anak”, semuanya dilakukan di kamar mandi dengan jarak waktu tiga puluh menit sampai satu jam (ternyata nggak cuma cewek yah yang mandi-nya butuh waktu lama). Dan semua itu dibuang ke sungai bersamaan dengan sampah rumah tangga dan sampah industri rumah tangga lainnya.

Bukan hanya rumah yang berdempetan, disini ada juga beberapa batang pohon pisang yang tumbuh subur di pinggir sungai yang pekat ini. Entah seperti apa rasa buahnya, sehat atau tidak, hanya yang makan yang tahu rasanya. Mungkin saja pisang yang aku makan dua hari yang lalu berasal dari sana. Karena tetangga yang memberi bilang “hasil panen sekitar sini”. #Waduuuh… (-_-!)

Kadang aku berfikir, “Kenapa aku bisa betah selama dua setengah tahun tinggal disini yah?” yang pasti bukan karena harganya yang murah dan dekat kampus, tapi di sini aku mencoba belajar menjadi seperti mereka yang sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun menghirup udara dan melihat pemandangan yang sama dengan yang aku lihat pagi ini. 

Entah kenapa aku yang berteriak tentang kepedulian akan sampah dan polusi terhadap bumi, serta akibat global warming terhadap anak-anak, jadi merasa betapa egoisnya aku kalau hanya sekedar berteriak tanpa pernah aku melihat dan merasakan kehidupan para manusia yang ada di tengah hal-hal yang aku teriakkan selama ini, sampah dan polusi. Setidaknya dengan merasakannya secara langsung belajar memahami bagaimana ironi hidup adalah sebuah pilihan bagi aku dan mereka yang bertarung ditengah megalitikum metropolitan

Siang hari adalah waktu yang membosankan kalau aku ada di kamar kos. Kalau ku perhatikan, perpaduan dari pantulan cahaya matahari melalui asbes dan seng perumahan warga dengan uap air sungai, merupakan perpaduan yang pas untuk cuaca yang panas dan udara yang lembab. Akibatnya, kepalaku jadi mudah pusing. Memang enak yah kalau punya kamar apartemen dengan kesejukan AC di dalam kamar, kayaknya nggak akan gampang pusing kepalaku ini. Yaahh... namanya juga Nasib Anak Kos.

Sedia payung sebelum hujan, seperti ungkapan ini agak sedikit berubah dalam keadaan yang biasa aku siapkan sebelum tidur, yaitu “sedia lotion anti nyamuk dan selimut tipis, sebelum digigit gerombolan drakula haus darah”. Bagi nyamuk-nyamuk disini, iklan-iklan obat semprot anti nyamuk yang ada di televisi sama sekali nggak berpengaruh melawan strategi mereka (kayakanya nyamuk-nyamuk di sini terlatih menghadapi serangan obat semprot anti nyamuk daripada pertarungan satu lawan satu, tapi kalau aku dikeroyok gerombolan nyamuk, yah kabur lah…!!! Daripada kurus mendadak..!!). Markas persembunyian mereka yang biasanya ada di tumpukan sampah-sampah yang menggenang di sekitar sungai. Lebih tepatnya dibawah kamarku.

Seperti apapun keadaan di sini, seberapa-pun parah hal yang aku hadapi disini, aku berhutang budi dengan tempat ini, karena di sini aku memiliki banyak teman, inspirasi dan ilmu tentang hidup yang dapat aku gunakan dalam kehidupanku. Selain itu, aku jadi mengerti bahwa berteriak tidak akan menyelesaikan masalah. 

Melihat melalui ironi kehidupan akan membuat mata kita semakin terbuka akan apa yang harus kita lakukan untuk bumi yang kita tinggali ini.

Tidak ada komentar: