Afterlife In Merapi

"Nyasar" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki kata dasar Sasar, yang berarti tersesat atau kehilangan arah. –kata Nyasar lebih akrab di telinga orang Indonesia daripada kata Tersesat, kenapa? Karena, kalau tidak kepepet, mana ada orang Indonesia punya hobi baca kamus?–

Begini ceritanya...

Adalah rasa keingintahuan yang membulatkan tekadku untuk menyambangi salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia, yang berada di kampung halamanku, Yogyakarta, di bulan kelima pasca letusan Gunung Merapi pada November 2010.



Sekedar berbagi informasi mengenai Gunung Merapi yang dikutip dari wikipedia.

Gunung Merapi yang memiiliki ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006 adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Menurut catatan terakhir, telah mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali.

Di lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade (Decade Volcanoes).



Berangkat dari Stasiun Senen, Jakarta. Kereta Api Ekonomi Progo menembus angin malam pukul 21.45 WIB. Menapaki Cikampek, nasi bungkus rendang seharga Rp. 7000,- menjadi santap malamku sebelum terlelap dalam nina bobo dentuman roda kereta.

”Cirebon.. Cirebon.. Yang Turun Cirebon..!!” Suara nyaring dari luar jendela menyadarkan lelap dari bawah sadar, masih sedikit buram pandangan ketika berseliweran para barista kereta diantara segelintir penumpang yang beranjak turun di Stasiun Cirebon.

”Jamblang.. Sego Jamblang.. Anget mas..” Naahh,, ini dia suara yang paling ditunggu. Tak kuasa menolak rayuan kuliner dari pulau kelapa yang satu ini, nasi hangat dengan tahu atau tempe Goreng, Daging Ayam atau daging sapi dan Sambal Merah yang dibungkus rapi dengan hijaunya daun jati. Hanya dengan kocek Rp. 8000,- makan malam ronde kedua pun dimulai.


Walau mencoba tetap terjaga, hipnotis lagu-lagu kereta dan belaian angin dini hari, mengembalikan kesadaranku dalam kegelapan yang menenangkan, entah untuk berapa lama, hingga suara ”Karcis.. Mas karcisnya..” Aku sekali lagi terjaga dengan segera saat petugas karcis kereta api membuyarkan ketenangan ini. Secarik kertas kecil berwarna merah muda yang bertarif Rp. 35.000,- bertuliskan tanggal, keberangkatan, tujuan dan nomor tempat duduk dengan logo PT. KAI adalah surat pengantar yang akan mempertemukan aku dengan Kota Gudeg, Jogja.

Suasana kereta sedikit lengang karena hari keberangkatan yang berlawanan dengan hari mudik mingguan. Aku leluasa berdiri di ambang pintu kereta sambil menikmati segelas hangat air hitam berkafein dan menghisap sekumpulan asap dari sebatang nikotin diantara jari telunjuk dan jari tengah, ditemani hembusan angin dalam sejuknya udara saat fajar dari timur yang perlahan merangkak naik dan menyinari hamparan petak sawah.

Dentuman itu satu persatu melambat bersambut dengan desis rem kereta yang menandakan perjalanan Lokomotif Progo pagi hari itu telah mencapai tujuannya di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta.

Hal pertama yang terfikirkan adalah mengisi lambung ini dengan Nasi Gudeg, Krecek dan Teh Jahe Hangat, dan tanpa berfikir panjang, Ojek motor seharga Rp. 10.000,- pun menjadi satu-satunya pilihan untuk bisa dengan cepat sampai di kawasan Alun-alun Kidul.

Seonggok ransel terduduk di lantai bertikar, bersandar kelelahan, berdebu, bau dan kelaparan, tapi wajahnya cerah seksama memperhatikan lalu lalang Pit Kebo (sepeda ontel) menembus gerbang tinggi bertembok putih.

”Monggo Mas’e..” Suara yang sudah dinanti, sekejap aroma dari kepulan uap panasnya Nasi Gudeg, Krecek dan Teh Hangat menghipnotis kesadaran untuk sebuah kenikmatan. Seakan hanya ada aku, makanan dan suasana ini. Nikmatnya...


Jon Bon Jovi Bilang ”I’m a cowboy, on the steel horse I ride..” sedangkan Auzta Salman bilang “Akulah bolang, mengendarai bebek otomatis beroda dua..”. Motor pinjaman dari temanku di sekitar Malioboro inilah yang membantuku mendaki aspal berliku hingga mencapai Kaliurang, Yogyakarta.

“Kalau mau lihat Kinahrejo, dari sini langsung saja ke atas mas, disana tempat yang paling parah kena Wedhus Gembel...” Sebuah petunjuk dari seorang ibu penjual kopi yang menjadi saksi hidup setelah erupsi merapi November 2011.

Bagi yang belum tahu tentang Kinahrejo, sekedar berbagi informasi mengenai Kinahrejo yang dikutip dari http://gudeg.net

Kinahrejo terletak 30 Km arah utara kota Yogyakarta, tepatnya di Dusun Kinahrejo, Cangkingan, Pakem, Sleman, sebalah selatan obyek wisata Kaliadem yang menawarkan pemandangan indah karena terletak dilereng Gunung Merapi.
Pada awalnya Kinahrejo merupakan Desa Wisata yang nyaman dan sering digunakan oleh para pengunjung baik yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara untuk menikmati keindahan dan pemandangan dari Gunung Merapi dari lokasi yang relatif dekat. Selain untuk menikmati pemandangan, wisatawan juga datang untuk menonton pertunjukan upacara tradisional Labuhan Merapi. Labuhan Merapi yang merupakan upacara adat yang diadakan setiap 30 Rajab. Adat Labuhan Gunung Merapi merupakan rangkaian upacara yang dilaksanakan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka peringatan jumenengan Ndalem (naik tahta) Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Tuhan, segala kehidupan di dunia ini adalah milik-mu. Entah apa yang bisa aku katakan, merinding rasanya membayangkan ketika Wedhus Gembel (awan panas) meluluhlantahkan daerah ini dalam waktu sekejap. Mungkin foto-foto ini bisa mewakili kata-kata itu.




Saat erupsi Gunung Merapi, Kinahrejo adalah salah satu lokasi dengan tingkat kerusakan terparah. Banyak korban berjatuhan dan bangunan yang hancur akibat tersapu awan panas.

Setelah erupsi mereda, warga beserta relawan kembali membangun desa-desa yang hancur akibat letusan Gunung Merapi. Karena, bukan orang Indonesia namanya kalau menyerah dengan keadaan, hal tersebut sama sekali tidak menghalangi keinginan penduduk kaki Gunung Merapi untuk bangkit.

Saat ini Kinahrejo yang masih dalam masa recovery sering dimanfaatkan oleh para wisatawan untuk berwisata. Selain berwisata, wisatawan juga dapat berpartisipasi dalam penanaman kembali pohon-pohon di sekitar Desa Kinarejo.
 


Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-hambanya, karena dibalik kesulitan pasti ada kemudahan, begitupun dengan kondisi Kinahrejo yang mulai berbenah. Saat ini Kinahrejo kembali ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal ataupun mancanegara yang ingin melihat sisa-sisa keganasan Letusan Gunung Merapi.

Bahkan di masa-masa liburan ataupun libur panjang, lokasi parkir yang dapat menampung hingga 200 mobil tersebut bisa penuh terisi. Sebagian orang percaya, kondisi ini adalah berkah dari Sang Merapi yang itu sendiri. Namun di luar itu semua, bekas erupsi Merapi memang memberikan nuansa wisata yang berbeda dengan tempat lain dari wisata di Yogya.
Melalui Desa Kinahrejo kita bisa memandang puncak Merapi yang cantik dan penuh misteri dari kejauhan.

Sebuah Intermezo adalah bumbu yang pas untuk sebuah cerita perjalanan.

Pepatah berkata, ”Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak”, ternyata berimbas juga untukku kali ini. Ketika akan pulang ke arah kota, ban belakang bebek otomatis beroda dua ini bocor. Demi menjaga motor pinjaman ini agar tidak rusak, akhirnya mau tak mau aku harus berjalan dan menuruni jalan sambil menuntun motor. Serba salah...

15 menit berjuang menahan berat motor di jalan yang menurun, penampakan bengkel tambal ban akhirnya muncul. Disana sudah ada pasien yang sedang dirawat. Bebek otomatis yang satu itu sepertinya juga menerima nasib yang sama, jadilah aku harus menunggu.

Ternyata didalam begkel terjadi sedikit huru hara, seorang anak sekolahan berseragam putih abu-abu kerepotan membuka-buka sebuah kamus, sementara didepannya seorang pria bule sibuk membolak-balik peta ditangannya.

Anak    : ”mas.. mas’e bisa bahasa Inggris ndak?”
Bolang : ”Yah, sekedar Yes.. No.. mah bisa mba’e”
Anak    : ”iki lho, bahasa Inggris-nya nyasar opo yo? Dikamus ndak ada..”
Bolang : ”masa sih?”
Anak    : ”ini lho adanya ”Tersesat” bukan Nyasar”

Tidak ada komentar: